Santri, kiai, dan kitab di dunia pesantren memiliki hubungan yang unik, khas, dan menarik. Ketiganya tidak bisa disamakan dengan murid, guru, dan buku dalam proses pembelajaran di sekolah formal maupun di lembaga pendidikan umum yang lain. Mungkin karena keunikannya itu, pesantren pernah melahirkan nama-nama besar seperti Hasyim Asy'ari, Saefuddin Zuhri, Gus Dur, Mahfud MD, Nurcholis Madjid, Din Syamsuddin, Emha Ainun Nadjib, hingga Jusuf Kalla.Namun demikian, sejauh mana kekhasan metode pendidikan pesantren itu perlu dipertahankan? Apa saja yang perlu diperbaiki atau bahkan ditinggalkan? Dengan penuh rasa cinta, buku ini mencoba mengkritisi hal-hal fundamental yang selama ini berjalan di pesantren. Bukankah mengkritisi tidak harus diartikan negatif sebagaimana cemburu kadang menjadi bukti kedalaman cintamu? Bukankah tradisi kritis dalam Islam sudah muncul semenjak Islam itu sendiri tumbuh, sebagaimana sahabat Hubaib bin al-Mundzir yang pernah mengkritisi Rasulullah Saw. terkait penempatan pasukan saat perang Badar?Poin-poin yang ditawarkan buku ini memantik nalar kita untuk merenungkan sekali lagi tradisi pesantren, hubungan santri-kiai, terorisme (atas nama) agama, hingga bagaimana seorang santri memahami Tuhan.
Referensikan kembali link ini dan dapatkan bonus poin
Dapatkan bonus sebesar 500 poin untuk pelanggan baru cukup dengan login google